Beranda | Artikel
Kaidah Mengkafirkan Orang Tertentu
Kamis, 27 Maret 2008

KAIDAH MENGKAFIRKAN ORANG TERTENTU[1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “… Padahal aku senantiasa -dan orang yang selalu mendampingiku selalu mengetahuinya- termasuk orang yang sangat melarang untuk menisbatkan orang tertentu dengan kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Kecuali jika orang itu telah nyata baginya kebenaran ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam , yang barangsiapa menyalahinya, kadangkala bisa menjadi kafir, fasik, atau pelaku maksiat. Dan aku menjelaskan bahwa Allah Ta’ala mengampuni kesalahan (yang tidak disengaja) bagi umat ini. Pengampunan tersebut meliputi kesalahan dalam masalah khabariyyah qauliyyah (keyakinan) dan masalah-masalah ‘amaliyyah. Para ulama Salaf masih banyak berbeda dalam masalah ini, tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan kafir, fasik, atau pelaku maksiat terhadap seseorang.”[2]

Beliau rahimahullah berkata, adapun mengkafirkan orang tertentu yang telah diketahui keimanannya -dengan adanya kerancuan dalam imannya itu-, maka ini adalah perkara yang besar. Telah tetap di dalam ash-Shahih (Shahih al-Bukhari), dari Tsabit bin adh-Dhahhak, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam beliau bersabda:

…وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ، وَ مَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ.

… dan melaknat seorang Mukmin seperti membunuhnya. Siapa saja yang menuduh seorang Mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya.[3]

Dan telah tetap di dalam kitab ash-Shahih, bahwa barangsiapa yang berkata kepada saudaranya “hai kafir”, maka ucapan itu akan mengenai salah seorang dari keduanya.[4]

Apabila mengkafirkan orang tertentu –dengan maksud mencelanya saja- seperti membunuhnya, lantas bagaimana keadaanya, apabila pengkafirannya itu didasari dari keyakinannya? Tentunya itu lebih dahsyat daripada membunuhnya. Karena, setiap orang yang kafir boleh untuk dibunuh, namun tidak semua orang yang boleh dibunuh berarti dia orang kafir. Terkadang orang yang mengajak kepada bid’ah (ahlul bid’ah) dibunuh dengan sebab usahanya dalam menyesatkan dan merusak manusia, padahal mungkin saja Allah Ta’ala akan mengampuninya di akhirat karena keimanan yang ada padanya.

Karena, terdapat nash-nash yang mutawatir yang menjelaskan bahwa, akan keluar dari neraka orang yang terdapat keimanan seberat biji dzarrah di dalam hatinya.[5]

Sesungguhnya syari’at Islam dibangun di atas pokok yang agung, yang tegak dengan pokoknya sendiri, yaitu apa yang dijelaskan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, beliau berkata: “Sesungguhnya pengkafiran yang umum –seperti ancaman yang umum- wajib mengatakan dengan kemutlakan dan keumumannya. Adapun hukum terhadap orang tertentu bahwa ia kafir, atau dipersaksikan dengan masuk neraka, maka ia harus didasari pada dalil orang tertentu, karena hukum ini tegak dengan adanya syarat-syarat dan tidak adanya penghalang”. [6] (Selesai dari kitab at-Tabshir, hlm. 35).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata tentang hukum mengkafirkan dan memfasikkan, “Hukum kafir dan fasik bukanlah hak kita. Itu kita kembalikan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Hukum ini termasuk hukum-hukum syari’ah yang dasar rujukannya al Qur`an dan as-Sunnah. Untuk itu dalam masalah ini wajib bersikap sangat hati-hati. Tidak boleh dihukumi kafir atau fasik, kecuali orang yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunnah atas kekafiran atau kefasikannya.

Pada prinsipnya, seorang Muslim yang menunjukkan kelakuan baiknya adalah tetap Muslim dan dapat diterima kesaksiaannya, hingga hal tersebut benar-benar tidak ada lagi berdasarkan dalil syar’i. Kita tidak boleh gegabah dalam menghukumi kafir atau fasik, karena tindakan ini dapat mengakibatkan dua resiko berat yang wajib dihindari. Pertama. Melakukan pendustaan terhadap Allah Ta’ala dalam hukum dan terhadap orang yang dihukumi dalam tuduhan yang dilontarkan kepadanya. Kedua. Terjerumus sendiri dalam tuduhan yang dilontarkan kepada saudaranya yang muslim tersebut, bilamana diri orang yang dituduh itu bersih (dari tuduhan).

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar c , bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا.

Bila seseorang mengkafirkan saudaranya (yang Muslim), maka pasti seseorang dari keduanya mendapatkan kekafiran itu.[7]

Dalam riwayat lain:

إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ.

Jika seperti apa yang dikatakan. Namun jika tidak, kekafiran itu kembali kepada dirinya sendiri.[8]

Diriwayatkan pula dalam Shahih Muslim dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ.

Barangsiapa memanggil seseorang dengan kafir atau mengatakan kepadanya “hai musuh Allah”, padahal tidak demikian halnya, melainkan panggilan atau perkataannya itu akan kembali kepada dirinya.[9]

Berdasarkan ini, sebelum menghukumi seorang Muslim dengan kafir atau fasik harus diperhatikan dua perkara.

  1. Dhilalah (penunjuk) Kitab dan Sunnah, bahwa perkataan atau perbuatan itu mengakibatkan menjadi kufur atau fasik.
  2. Inthibaq (ketepatan/kesesuaian) hukum yang diberikan ini terhadap si pelaku. Yaitu, apabila telah terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak adanya suatu halangan apa pun.

Di antara syarat terpenting ialah, si pelaku mengetahui kalau ia melakukan suatu perbuatan yang dapat mengakibatkan dia menjadi kafir atau fasik. Karena, Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (an-Nisa`/4:115).

Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (at-Taubah/9:115).

Oleh karena itu, para ulama mengatakan, tidak dihukumi kafir orang yang mengingkari faraid (kewajiban-kewajiban) manakala ia baru masuk Islam, sebelum diberikan penjelasan kepadanya. Dan termasuk penghalangnya ialah, bahwa apa yang mengakibatkannya kafir atau fasik terjadi tanpa keinginannya atau di luar kesadarannya. Di antaranya:

  • adanya unsur paksaan. Si pelaku melakukannya karena dipaksa, bukan karena suka untuk berbuat itu. Maka ketika itu dia tidak kafir, berdasarkan firman Allah Ta’ala, yang artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar. (an-Nahl/16:106)
  • tertutup pikirannya sehingga tidak lagi apa yang dikatakan, disebabkan terlalu senang, sangat sedih, panik, takut, dan lainnya. Dasarnya hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِيْنَ يَتُوْبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضٍ فَلاَةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِيْ ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةٌ عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِيْ وَأَنَا رُبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ.

Sesungguhnya Allah Ta’ala lebih senang terhadap taubat hamba-Nya daripada senangnya seseorang karena menemukan kembali binatang tunggangannya. Orang itu bepergian dengan  menaiki binatang tunggangan, tetapi kemudian hilang terlepas di tengan padang pasir, padahal makanan dan minumannya ada pada binatang tunggangannya. Karena merasa putus asa, ia berteduh dan beristirahat di bawah sebuah pohon. Dia telah putus asa untuk mendapatkan binatang tunggangannya. Tatkala dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba binatangnya berdiri di hadapannya, maka ia segera memegang tali pelananya, kemudian karena amat senangnya ia mengatakan, ‘Ya Allah, Engkau hambaku dan aku adalah Rabb-Mu,’ dia salah berkata karena sangat senang.[10]

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, “Adapun takfir (pengkafiran), maka yang benar ialah, bahwa barangsiapa dari ummat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam yang berijtihad dan bertujuan mencari al haq kemudian salah, maka tidak dikafirkan. Sedangkan siapa yang mengetahui secara jelas apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam , kemudian menentangnya setelah nyata kebenaran baginya dan mengikuti selain jalan kaum Mukminin, maka ia adalah kafir. Dan barangsiapa mengikuti hawa nafsunya, tidak bersungguh-sungguh mencari al haq, dan berbicara tanpa dasar ilmu, maka ia telah berbuat maksiat dan dosa. Selanjutnya ia bisa menjadi fasik, dan bisa juga ia mempunyai kebaikan-kebaikan yang dapat mengalahkan keburukannya.”[11]

Beliau rahimahullah juga mengatakan,”Padahal aku senantiasa -dan orang yang selalu mendampingiku selalu mengetahuinya- termasuk orang yang sangat melarang untuk menisbatkan orang tertentu dengan kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan; kecuali jika orang itu bahwa telah nyata baginya kebenaran ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam , yang barangsiapa menyalahinya kadangkala bisa menjadi kafir, fasik, atau pelaku maksiat. Dan aku menjelaskan bahwa Allah Ta’ala mengampuni kesalahan (yang tidak disengaja) bagi ummat ini.  Pengampunan tersebut meliputi kesalahan dalam masalah khabariyyah qauliyyah dan masalah-masalah ‘amaliyyah. Para salaf masih banyak berbeda dalam masalah ini, tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan kafir, fasik, atau pelaku maksiat terhadap seseorang”.[12]

Setelah menunjuk beberapa contoh, selanjutnya beliau t mengatakan: “Dan pernah aku terangkan bahwa, apa yang diberitakan dari para salaf dan imam-imam, yaitu pernyataan secara umum bahwa kafirlah orang yang mengatakan ini atau …; itu pun benar. Namun harus dibedakan antara pernyataan yang bersifat umum dan pernyataan yang sifatnya tertentu”.

Beliau menjelaskan lebih lanjut, “Dan takfir termasuk al wa’id (ancaman). Karena, meskipun ucapan tersebut pendustaan terhadap apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, akan tetapi orang itu mungkin saja baru masuk Islam atau dibesarkan di perkampungan terpencil. Seperti ini tidak kafir hanya disebabkan mengingkari sesuatu yang diingkarinya sebelum jelas baginya hujjah. Dan mungkin pula, orang ini belum mendengar nash-nash itu, atau ia telah mendengarnya namun menurut dia belum kuat, atau menurut dia ada suatu penghalang yang menghalanginya, kemudian mesti ditakwil, sekali pun sebenarnya ia salah.

Aku pun selalu menyebutkan hadits yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim tentang orang yang berkata:

إِذَا أَنَا مِتُّ فَأَحْرِقُوْنِيْ ثُمَّ اسْحَقُوْنِيْ ثُمَّ ذَرُوْنِيْ فِى الْيَمِّ ، فَوَاللهِ لَئِنْ قَدَرَ اللهُ عَلَيَّ لَيُعَذِّبُنِيْ عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِيْنَ، فَفَعَلُوْا بِهِ ذَلِكَ، فَقَالَ اللهُ : مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا فَعَلْتَ؟ قَالَ: خَشْيَتُكَ، فَغَفَرَ لَهُ.

“Apabila aku mati, maka bakarlah aku dan perabukan, kemudian taburkan di lautan. Demi Allah, jika Allah berkuasa membangkitkan diriku, niscaya Dia akan  menyiksaku dengan siksaan yang tidak Dia kenakan kepada seorang pun dari makhluk-Nya,” maka mereka pun melakukan pesannya itu.  (Pada hari Kiamat) Allah Ta’ala berfirman kepadanya: “Apa yang mendorongmu berbuat demikian?” Dia menjawab,”Yakni rasa takutku kepada-Mu,” akhirnya Allah mengampuninya.[13]

Dia ini adalah orang yang masih ragu terhadap kekuasaan Allah Ta’ala dan kemampuan-Nya untuk mengembalikan dirinya (yang sudah menjadi abu) bila telah ditaburkan. Dia mempunyai suatu keyakinan bahwa ia tidak akan dikembalikan. Ini adalah kufur menurut kesepakatan kaum Muslimin. Akan tetapi, orang tersebut bodoh, tidak tahu hal itu, padahal ia seorang mukmin yang takut akan siksaan Allah. Disebabkan iman dan rasa takutnya itu, Allah Ta’ala pun mengampuninya.

Sedangkan pentakwil dari kalangan ahli ijtihad yang bersungguh-sungguh mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam lebih patut mendapat ampunan daripada orang seperti ini.

Dengan penjelasan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah ini, jelaslah adanya perbedaan antara perkataan dan orang yang mengatakannya, antara perbuatan dan si pelakunya. Maka tidak semua perkataan atau perbuatan yang menjadikan kafir atau fasik, orang yang mengatakannya atau si pelakunya dihukumi demikian pula.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Dasar masalah ini ialah bahwa perkataan yang merupakan kufur kepada Kitab, Sunnah, dan ijma’ disebut sebagai kufur dari segi perkataannya, dikatakan sebagaimana yang ditunjuk oleh dalil-dalil syari’at. Karena, iman termasuk hukum-hukum yang diambil dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, bukan termasuk hukum manusia atas dasar dugaan dan hawa nafsu mereka. Setiap orang yang mengatakan perkataan kufur tidak mesti dikatakan kafir hingga terpenuhi pada dirinya syarat-syarat takfiir dan tidak ada halangan-halangannya.

Contoh:
Orang yang berkata bahwa khamr atau riba adalah halal, disebabkan baru masuk Islam atau dibesarkan diperkampungan terpencil atau mendengar perkataan tersebut berasal dari Al Qur`an atau dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, Seperti halnya ada di antara para Salaf yang mengingkari suatu perkara sampai nyata benar bagi dirinya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah mensabdakannya… Mereka itu tidak dihukumi kafir hingga jelas bagi mereka hujjah yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, sebagaimana telah difirmankan oleh Allah Ta’ala, yang artinya: Agar tidak ada alasan bagi manusia membahtah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu. (an-Nisa`/4:165). Dan Allah Ta’ala telah mengampuni untuk ummat ini kesalahan dan kehilafan (lupa).”[14]

Dengan demikian jelaslah bahwa, suatu perkataan fasik atau kafir tidak mesti pelakunya menjadi fasik atau kafir karenanya. Sebab tidak terpenuhi syarat-syarat takfir atau tafsik, atau ada suatu penghalang syar’i yang menghalanginya. Adapun orang yang telah jelas al haq baginya, tetapi masih saja menentangnya karena mengikuti keyakinan yang dianutnya atau panutan yang diagungkannya, atau karena kepentingan duniawi yang lebih diutamakannya, maka ia berhak mendapatkan akibat penentangannya itu, yaitu kekafiran atau kefasikan. Oleh karena itu, seorang mukmin wajib menjadikan ‘aqidah dan amal perbuatannya tegak di atas Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, menjadikan keduanya sebagai panutannya, berpelita dengan cahaya kebenarannya, dan berjalan di atas manhaj keduanya. Inilah jalan yang lurus yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya, yang artinya: Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (al An’am/6:153).

Hendaklah ia menjauhi apa yang dilakukan sebagian orang, yakni mendasarkan ‘aqidah dan amalnya atas suatu madzhab tertentu. Maka bila mendapati nash-nash Kitab dan Sunnah tidak sesuai dengan madzhabnya, dia berusaha memalingkan nash-nash ini agar sesuai dengan madzhabnya itu dengan memberikan pentakwilan yang dibuat-buat. Akibatnya, Kitab dan Sunnah dibuat menjadi penganutnya, bukan menjadi panutannya. Sedangkan selain Kitab dan Sunnah dijadikan panutan, bukan yang menganut. Ini adalah salah satu cara orang-orang yang mendahulukan hawa nafsu, bukan orang-orang yang mengikuti tuntutan kebenaran. Allah Ta’ala mencela cara seperti ini dalam firman-Nya, yang artinya: Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti hancurlah langit dan bumi ini serta semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan peringatan (al Qur`an) kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu. (al-Mu’minun/23:71).

Orang yang mengadakan studi tentang madzhab-madzhab dalam masalah ini, akan mendapati sesuatu yang sangat menakjubkan dan akan tahu, betapa perlunya ia mendekatkan diri kepada Rabb untuk memohon hidayah dan ketetapan hati, tegak di atas kebenaran, dan berlindung kepada-Nya dari penyimpangan dan kesesatan.

Barangsiapa yang memohon kepada Allah dengan tulus dan meminta kepada-Nya dengan meyakini kemaha cukupan Rabb-nya dan kebutuhan ia kepada Rabb-nya, maka ia patut untuk dikabulkan oleh Allah Ta’ala permintaannya. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (al-Baqarah/2:186).

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk orang yang melihat kebenaran sebagai suatu kebenaran dan mengikutinya, serta melihat kebathilan sebagai suatu kebathilan dan menjauhinya, orang baik-baik yang melakukan perbaikan, dan tidak menyesatkan hati kita setelah ditunjuki-Nya dan memberi kita rahmat. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi.

Segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam, dengan nikmat-Nyalah setiap kebaikan menjadi sempurna. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi pembawa rahmat, penunjuk ummat ke jalan Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Terpuji, dengan izin Rabb-nya, dan semoga tercurah pula kepada keluarga beliau, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan sampai hari Pembalasan.[15]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Dinukil dengan ringkas dari at-Tabsghir bi Qawa’idit-Tafsir, Syaikh Ali Hasan Ali ‘Abdul Hamid, halaman 31-35.
[2] Majmu Fatawa’  (III/229).
[3] HR al-Bukhari (no. 6105) dan Muslim (no. 110 (146).
[4] Lihat Shahih al-Bukhari (no. 6104) dan Shahih Muslim (no. 60), dari Sahabat Ibnu ‘Umar.
[5] Al-Istiqamah (I/165-166).
[6] Majmu Fatawa’ (XII/498).
[7] Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6104), Muslim (no. 60 (110)), dan at-Tirmidzi (no. 2637).
[8] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim no. 60.
[9] Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3508) dan Muslim (no. 61(112)).
[10] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 2747 (7)).
[11] Majmu Fatawa’ (XII/180).
[12] Majmu Fatawa’ (III/229).
[13] Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 7506) dan Muslim (no. 2756 (24)), dari Sahabat Abu Hurairah z .
[14] Majmu Fatawa’ (XXXV/165).
[15] Al-Qawa-idul-Mutsla fi Shifatillahi wa Asma-ihil-Husna, Ta’liq: Abu Muhammad Asyraf bin ‘Abdil Maqshud, Maktabah Adhwa-us-Salaf, Cetakan Tahun 1416 H, halaman 148-154.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2395-kaidah-mengkafirkan-orang-tertentu.html